Ini ada sebuah artikel yang sangat menarik dan baru saya ketahui asal usulnya topi ulang tahun yang biasa dikenakan saat ulang tahun dirayakan bagi sebagian orang di belahan dunia.
Sumber artikel asli dari Voa Islam dengan garapan dan tambahan sendiri.
Pada perayaan ulang tahun kerap kita lihat si anak yang berulang tahun mengenakan topi berbentuk kerucut dan tahu tidak ternyata topi model yang seperti itu dulunya merupakan tanda seseorang yang telah murtad (keluar dari agama Islam).
Kata Pemerhati Islam Irena Handono
Mau tahu bagaimana sejarah topi kerucut yang identik dengan moment perayaan ulang tahun tersebut.
Mari simak kajian Kristologi yang disampaikan
Irena Handono berikut ini.
Dahulu, pada masa Raja Ferdinand dan Ratu Isabela (keduanya penganut Kristiani) berkuasa di Andalusia. Ketika kaum muslimin dibantai, keduanya memberi jaminan hidup kepada orang Islam dengan satu syarat, yakni keluar dari agama Islam.
Pembantaian di Andalusia
Maka untuk membedakan mana yang sudah murtad dan mana yang belum adalah ketika seorang muslim menggunakan baju seragam dan topi berbentuk kerucut dengan nama
Sanbenito.
Jadi, Sanbenito adalah sebuah tanda berupa pakaian khusus untuk membedakan mana yang sudah di-converso (murtad).
"Pada Saat itu umat Islam di Andalusia dibantai, kecuali yang memakai Sanbenito. Itu sama artinya bersedia mengikuti agama Ratu Isabela. Topi ala Sanbenito itulah sebagai simbol orang Islam yang sudah murtad. Topi itu digunakan saat keluar rumah, termasuk ketika ke pasar. Dengan menggunakan sanbenito, mereka aman dan tidak dibunuh," ungkap Irena.
Setelah pembantaian selesai, agenda Ratu Isabela selanjutnya adalah mengejar muslim yang lari dan bersembunyi ke Amerika Selatan. Orang Islam yang tertangkap lalu diseret ke lembaga inkuisi (penyiksaan) yang dilaksanakan oleh orang gereja. Adapun pastur pertama yang ditunjuk oleh Ferdinand dan Isabela untuk melaksanakan inkuisi adalah
pastur bernama Torquemada. Ia adalah Jenderal Yahudi yang dikenal sebagai pembantai umat Islam Andalusia.
Bukan hanya orang Islam saja yang diseret ke lembaga inkuisisi, tapi juga orang yahudi yang menolak masuk Kristen. Di tanah lapang, mereka kemudian ada yang dibakar hidup-hidup, ada pula yang disiksa dengan kayu yang diruncingkan sehingga bokongnya akan tertusuk. Penyiksaan lainnya ada yang dipatahkan kakinya. Kekejaman inkuisisi itu memang hendak membuat mati seseorang dengan secara perlahan, bahkan sambil tersenyum.
Sungguh sangat Sadis.
"Ini menunjukan, bahwa Kaum Kristiani yang katanya memiliki slogan kasih, ternyata ahli di bidang penyiksaan, dan pembantai Muslim dan Yahudi. Jadi, jangan dikira lembaga inkuisisi itu sudah tidak ada lagi.
Juga jangan mengira Knight Templar itu sudah tidak ada.
Lembaga Inkuisisi dan Knight Templar itu masih ada hingga saat ini.
Buktinya, George W Bush pernah mengatakan, ia diperintah Tuhan untuk melakukan pembantaian dengan menyebut Muslim sebagai teroris," papar Irena.
Perang Media dan Pemikiran
Irena Handono mengimbau, agar seluruh aktivis Islam menguasai media.
Ia mengingatkan, bahwa saat ini, kita sedang perang media, pemikiran, budaya, dan peradaban (Ghazwul Fikr).
Menurutnya, perang itu ada dua macam, yakni:
- Perang Berdarah (War With Blood)
- Perang Tidak Berdarah (War Without Blood).
Perang berdarah, kata Irena, adalah perang konvensional (dibunuh lalu mati dan selesai).
Tapi kalau perang tidak berdarah, sesungguhnya jauh lebih jahat dari perang berdarah.
Nah, untuk menghadapi perang tanpa darah, kita harus menggunakan strategi dengan media yang sama.
Irena Center misalnya, telah membuka kajian online, melalui jejaring social Facebook (FB) dan Twiter.
Saat ini Irena Handono I pengikutnya sudah mencapai 5.000. Begitu juga akun Irena II dan Irena III.
Sedangkan untuk akun tokoh jumlah pengikutnya sudah mencapai 79.784. 000.
Menariknya lagi, di kalangan pesantren kini juga telah membuka kajian Kristologi.
"Untuk kajian Kristologi via online, diantara pesertanya ada yang dari beberapa negara, seperti Brunei Darussalam, Swedia, Amerika Serikat, Autsralia, bahkan seorang tenaga kerja asal Indonesa yang bekerja di Iran. Mereka datang dari berbagai profesi, mulai dari dokter spesialis, teknisi, maupun birokrat. Intinya, kita harus all out (habis-habisan) menghadapi perang tidak berdarah," ungkap Irena.
JAKARTA (VoA-Islam)